Dalam sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan “Innama al-a’mal bi
al-niyat” : Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.
Hadis ini sangat populer dikalangan muslim. Tanpa sebuah niat maka nilai sebuah
perbuatan akan berbeda. Contohnya berwudhu, bila tanpa disertai niat wudhu maka
yang dilakukan sama saja dengan membasahi bagian tubuh dengan air seperti
halnya mandi atau basah karena tercebur disungai atau basah karena kehujanan.
Sunan Bonang pernah
memberikan wejangan tentang niat kepada para muridnya. Termasuk kepada Sunan
Kalijaga. Bunyinya :
“Hei Muridku,
niat itu lebih utama dari amalan yang banyak. Niat itu bukan bahasa maupun
suara. Niat itu untuk melakukan tindakan yang ada di dalam pikiran.
Sesungguhnya yang disebut niat itu bukan pada niatnya, tetapi niat untuk melakukan
tindakan yang terungkap. Kalau hanya niat, maka niat sembahyang tiada bedanya
dengan niat merampok.”
Maka yang dimaksud
dengan niat itu adalah kehendak untuk melakukan sesuatu. Merupakan dorongan
untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu. Karena itu niat bukan berupa bahasa
atau suara. Artinya niat bukan hanya sebatas ucapan, baik itu ucapan dimulut
atau dalam hati. Kalau hanya sebatas ucapan dimulut atau dalam hati, maka itu
sama saja antara mengucapkan niat bersembahyang maupun merampok. Niat yang
demikian, jelas tidak lebih utama daripada perbuatan.
Niat adalah sebuah
tekad. Bilamana anda hendak melakukan sembahyang, sholat atau akan menjalankan
ritual puasa, niat memiliki peran yang penting. Bukan sekedar menghafal dan
mengucapkan lafal kalimat niat yang berbunyi seperti ini-seperti itu. Bukan
seperti itu yang dimaksud dengan niat. Tetapi niat adalah sebuah kehendak untuk
melakukan sesuatu yang sudah digagas dalam pikiran. Niat yang sudah
direncanakan dan dimantapkan dalam pikiran. Kemudian diwujudkan dalam tindakan
amal perbuatan sesuai dengan gagasan yang telah direncanakan.
Misalnya anda telah
berniat ritual puasa Mutih 3 hari 3 malam, maka penuhi ritual tersebut atau
gagal sama sekali. Tidak bisa ditengah-tengah kemudian bebas makan apa saja (diluar
Mutih) dengan berdalih berbagai alasan, kemudian mengatakan telah melakukan
ritual Mutih. Maka bilamana memang belum sanggup, maka tata kembali niatnya.
Adapun tentang lafal
niat, itu hanya untuk mempermudah saja. Bukan sesuatu yang mutlak harus demikian
bunyinya. Boleh saja memakai bahasa apa saja, bahkan hanya sebatas ucapan dalam
hati. Sebab inti niat bukan pada lafalnya. Maka jangan terjebak dan dipusingkan
dengan lafal niat. Nanti malah tidak segera beramal / bertindak, hanya sibuk
mikir lafal niat.
Niat disebut lebih
penting daripada amalan yang banyak, bila niat itu merupakan kehendak untuk
melakukan sesuatu yang sudah digagas dalam pikiran. Niat semacam inilah yang
membedakan perbuatan bajik dan perbuatan jahat. Niat semacam inilah yang
disebut dalam hadis : “Niyyatu al-mu’mini khairun min ‘amalihi”
: Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.
Dalam memahami hadis
tersebut ada 2 syarat yang harus ada. Yaitu Niat dan Amal. Karena ada juga
orang yang salah memahami dan berkata “Kalau begitu lebih baik berniat
saja, tidak perlu beramal (berbuat)“. Padahal hadist ini jelas dinyatakan
ada amal, ada tindakan. Contoh ada 2 orang yang bersedekah. Orang pertama
seorang pegawai biasa berpenghasilan 500 ribu perbulan. Orang kedua seorang
Milyader berpenghasilan 1 Milyar perbulan. Keduanya bersedekah, orang pertama
bersedekah 10 ribu, sedang sang kaya / Milyader bersedekah 100 ribu.
Jika dilihat dari segi
banyaknya uang, tentu amalan si kaya akan lebih besar nilainya daripada si
pegawai biasa. Tetapi bila dilihat dari segi niat, mungkin saja nilai di sisi
Tuhan yang diperoleh si pegawai lebih banyak dari pada si kaya. Sebab si
pegawai memberikan uang sisa yang ada pada dirinya setelah dipotong untuk
memenuhi bermacam-macam kebutuhan hidupnya ia masih berusaha menyisakan uang
untuk bersedekah. Sedangkan si kaya hanya memberikan 1/10.000 dari lebihan uang
dimilikinya. Niat si pegawai bersedekah dengan segenap yang dimilikinya,
sedangkan si kaya hanya menolong dari sebagian kecil yang dimilikinya. Dengan
memahami kenyataan demikian ini, kita paham bahwa niat lebih utama daripada
amalan (perbuatan).
Demikian pula dalam
menjalankan ritual puasa.
Ada 2 orang yang
dikurung dalam tempat yang gelap:
Orang yang Pertama adalah seorang narapidana
yang masukan dalam sel penjara yang sangat gelap dan tidak diberi makan 1
minggu. Sedangkan orang kedua adalah seorang pertapa, yang ritual
mengurung diri di ruangan gelap atau goa, juga tidak
makan-minum selama 1 minggu.
Keduanya sama-sama menjalani kondisi yang sama,
tidak makan-minum dan berada di tempat yang gelap. Tetapi hasil yang dirasakan
oleh kedua orang tersebut bisa berbeda. Mungkin si narapidana setelah keluar
dari sel tersebut kondisi dirinya semakin payah dan mungkin sudah sekarat.
Sedangkan si pertapa, meski badannya lemah tetapi pancaran hidupnya (aura)
semakin tajam dan terang.
Niat dalam sebuah amal
perbuatan (tindakan) memang memiliki peran yang besar. Tanpa sebuah niat,
apa yang anda lakukan selama berpuasa (tidak makan-minum), sama saja dengan
orang tidak makan-minum karena kelaparan. Tanpa sebuah niat, apa yang anda
lakukan selama ritual tidak tidur (melek) akan sama saja dengan begadang. Tanpa sebuah niat, amal perbuatan bisa jadi tidak
bernilai, tiada memberi faedah (manfaat), hanya membuahkan sia-sia. Tentunya
niat bukan sekedar niat. Tetapi wujud nyata dari kehendak pikiran dan hati.
Semuanya hanya Allah yang tahu dan manusia hanya menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya